Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Jumat, 20 Juni 2008

MDH (4)

NEGASI DARI NEGASI

Hukum kedua dari dialektika adalah 'hukum negasi dari negasi', dan sekali lagi, ini kedengaran lebih rumit daripada yang sebenarnya. 'Negasi' dalam hal ini secara sederhana berarti gugurnya sesuatu, kematian suatu benda karena ia bertransformasi (berubah) menjadi benda yang lain. Sebagai contoh, perkembangan masyarakat kelas dalam sejarah kemanusiaan menunjukkan negasi (gugurnya) masyarakat sebelumnya yang tanpa-kelas. Dan di masa yang akan datang, dengan adanya perkembangan komunisme, kita akan mendapati suatu masyarakat tanpa-kelas yang lain, yang ini akan berarti negasi terhadap semua masyarakat kelas yang ada sekarang.

Jadi, hukum negasi dari negasi secara sederhana menyatakan bahwa seiring munculnya suatu sistem (menjadi ada/eksis), maka ia akan memaksa sistem lainnya untuk sirna (mati). Tetapi, ini bukan berarti bahwa sistem yang kedua ini bersifat permanen atau tak bisa berubah. Sistem yang kedua itu sendiri, menjadi ter-negasi-kan akibat perkembangan-perkembangan lebih lanjut dan proses-proses perubahandalam masyarakat. Karena masyarakat kelas telah menjadi negasi dari masyarakat tanpa-kelas, maka masyarakat komunis akan menjadi negasi dari masyarakat kelas – negasi dari negasi.

Konsep lainnya dari dialektika adalah hukum 'interpenetration of opposites' (saling-menerobos dari hal-hal yang bertentangan). Hukum ini secara cukup sederhana menyatakan bahwa proses-proses perubahan terjadi karena adanya kontradiksi-kontradiksi – karena konflik-konflik yang terjadi di antara elemen-elemen yang berbeda, yang melekat dalam semua proses alam maupun sosial.

Barangkali contoh paling tepat dari 'interpenetration of opposites' dalam ilmu pengetahuan alam adalah 'teori quantum'. Teori ini didasarkan atas konsep bahwa energi memiliki karakter ganda – yaitu untuk beberapa tujuan, menurut beberapa eksperimen, energi eksis dalam bentuk gelombang, misalnya gelombang elektro magnetik. Tetapi untuk tujuan-tujuan lain, energi mewujudkan diri sebagai partikel. Dengan kata lain, sama sekali diterima di kalangan ilmuwan bahwa materidan energi sebetulnya bisa eksis dalam dua bentuk yang berbeda pada satu waktu yang sama – di satu sisi, sebagai sejenis gelombang yang tak kelihatan, dan di sisi lain, sebagai sebuah partikel dengan 'quantum' (jumlah) energi tertentu yang ada di dalamnya.

Karena itu, basis dari teori quantum dalam ilmu fisika modern adalah kontradiksi. Namun ada banyak lagi kontradiksi yang dikenal dalam ilmu pengetahuan. Energi elektromagnetik, misalnya, menjadi bergerak akibat dorongan positif dan negatif atas satu sama lain. Magnetisme tergantung pada eksistensi kutub utara dan kutub selatan. Hal-hal ini tidak bisa eksis secara terpisah (sendiri-sendiri). Mereka eksis dan beroperasi justru akibat kekuatan-kekuatan yang bertentangan, yang ada dalam sistem yang satu dan sama.

Hal yang serupa, setiap masyarakat saat ini terdiri atas elemen-elemen berbeda yang bertentangan, yang bergabung bersama dalam satu sistem, yang membuat mustahil bagi masyarakat apapun, di negeri manapun untuk tetap stabil dan tak berubah. Metode dialektis – bertentangan dengan metode logika formal – melatih kita untuk mengidentifikasi (mengenali) kontradiksi-kontradiksi ini, dan dengan demikian berarti mempelajari secara mendalam perubahan yang sedang terjadi.

Kaum Marxis tidak merasa malu untuk mengatakan bahwa terdapat elemen-elemen yang bertentangan dalam setiap proses sosial. Sebaliknya, justru dengan mengenali dan memahami kepentingan-kepentingan yang bertentangan, yang terdapat dalam proses yang sama itu, maka kita akan mampu untuk mengarahkan perubahan yang diinginkan, dan konsekuensinya juga berusaha untuk mengidentifikasi maksud dan tujuan yang perlu dan mungkin dalam situasi seperti itu untuk dirumuskan dari sudut pandang kelas-buruh.

Pada saat yang sama, Marxisme tidaklah mengabaikan logika formal sama sekali. Akan tetapi, adalah penting untuk melihat – dari sudut pandang pemahaman terhadap perkembangan-perkembangan sosial – bahwa logika formal haruslah ditempatkan pada posisi kedua.

Kita semua menggunakan logika formal untuk keperluan sehari-hari. Logika formal memberikan perhitungan-perhitungan yang berguna bagi kita untuk komunikasi dan melaksanakan aktivitas sehari-hari. Kita tidak akan bisa menjalani kehidupan normal tanpa berbasa-basi menggunakan logika formal, tanpa menggunakan perhitungan bahwa satu sama dengan satu. Akan tetapi, di sisi lain, kita harus melihat keterbatasan-keterbatasan logika formal – keterbatasan-keterbatasan yang menjadi jelas dalam ilmu pengetahuan jika kita mempelajari proses-proses secara mendalam dan mendetail, dan juga ketika kita mempelajari proses-proses sosial dan politik dengan lebih teliti.

Dialektika sangat jarang diterima oleh para ilmuwan. Beberapa ilmuwan dialektis, tetapi mayoritas, bahkan sampai saat ini, selalu mencampur-adukkan pendekatan materialis dengan segala macam ide-ide formal dan idealistik. Kalau seperti itu yang terjadi di bidang ilmu pengetahuan alam, maka di bidang ilmu pengetahuan sosial adalah jauh lebih parah. Penyebabnya cukup jelas. Jika Anda mencoba meneliti masyarakat dan proses-proses sosial dari sudut pandang ilmiah, maka Anda tidak bisa menghindari untuk sampai pada kontradiksi-kontradiksi dalam masyarakat kapitalis, dan kebutuhan untuk transformasi sosial masyarakat.

Namun perguruan-perguruan tinggi, yang seharusnya menjadi pusatstudi dan penelitian, dibawah sistem kapitalis ini jauh dari independent terhadap kelas yang berkuasa dan negara. Itulah sebabnya mengapa ilmu pengetahuan alam masih memiliki suatu metode ilmiah yang cenderung kepada materialisme dialektis; tetapi ketikasampai pada ilmu pengetahuan sosial, maka Anda akan mendapati di sekolah tinggi dan politeknik, serta universitas-universitas, formalisme dan idealisme yang paling parah. Hal ini bukannya tidak berhubungan dengan kepentingan-kepentingan tertentu dari para profesor dan akademisi yang digaji tinggi. Adalah jelas dan tak bisa dihindari bahwa posisi istimewa mereka di mata masyarakat akan memiliki beberapa cerminan dan pengaruh pada apa yang harus mereka ajarkan. Pandangan dan prasangka-prasangka subyektif mereka sendiri akan disertakan dalam 'pengetahuan' yang mereka sampaikan kepada mahasiswa mereka, dan begitu seterusnya sampai ke tingkat sekolah-sekolah.

Sejarawan borjuis, khususnya, adalah di antara ilmuwan-ilmuwan sosial yang paling berpandangan sempit. Berapa banyak kita telah melihat contoh-contoh sejarawan borjuis yang membayangkan bahwa sejarah berakhir kemarin! Di sini, di Inggris, mereka semua nampaknya mengakui masa-masa mengerikan sewaktu imperialisme Inggris abad ke-17, 18, sampai abad ke-19; bahwa Inggris terlibat dalam lalu lintas perdagangan budak; bahwa Inggris juga bertanggung jawab terhadap penaklukan rakyat di tanah-tanah jajahan yang paling berdarah; bahwa Inggris juga harus bertanggung jawab terhadap eksploitasi paling buruk terhadap buruh Inggris, termasuk wanita dan anak-anak di tambang-tambang batu bara, di pabrik-pabrik pemintalan kapas, dst.

Mereka akan menerima kenyataan adanya kekejaman dan ketidakadilan ini, tetapi hanya sampai kemarin. Namun jika kita bicara tentang masa sekarang, tentu saja, mereka akan menganggap bahwa imperialisme Inggris tiba-tiba jadi demokratis dan progressif.

dan hal tersebut sepenuhnya cuma satu sisi saja, satu cara pandang yang sepenuhnya berat sebelah dalam melihat sejarah, yang secara diametris berlawanan dengan metode Marxisme. Marx dan Engels terbiasa untuk memandang proses-proses sosial dari sudut pandang dialektis yang sama sebagaimana mereka memandang alam - yaitu memandangnya dari sudut pandang proses-proses itu sebenarnya terjadi.

dalam berbagai diskusi dan debat kita sehari-hari di dalam gerakan buruh, kita akan seringkali menjumpai orang-orang yanf formalis. Bahkan banyak orang kiri akan memandang berbagai hal dalam cara yang kaku dan formal, tanpa pemahaman akan arah yand di dalamnya hal-hal tersebut tadi bergerak.

Sayap kanan di dalam gerakan buruh, dan juga beberapa orang di sayap kiri, percaya bahwa teori Marxis adalah dogma, yakni, mereka percaya bahwa "teori" itu selayaknya beban seberat 600 pound (1 pound = 2,2 kg) di atas pundak seorang aktivis, dan semakin cepat si aktivis itu membuang beban tersebut, maka ia akan bisa makin aktiv dan efektif jadinya.

namun itu adalah konsepsi yang sepenuhnya keliru mengenai keseluruhan sifat teori Marxis. pada kenyataan yang sesungguhnya, Marxisme adalah lawan dari dogma. Marxisme setepat-tepatnya adalah metode untuk memahami sepenuhnya proses-proses perubahan yang terjadi di sekitar kita.

Tidak ada satupu hal yang ajeg, dan tiada pula sesuatupun yang tetap tak berubah. adalah kaum formalis yang melihat masyarakat sebagai foto yang tak bergerak, mereka dikuasai oleh situasi-situasi yang mereka hadapi sebab mereka tidak mampu melihat bagaimana dan mengapa berbagai hal akan berubah. pendekatan macam beginilah yang dapat dengan mudah menggiring orang pada penerimaan yang dogmatis dari adanya berbagai hal sebagaimanan hal itu ada ataupun telah ada sebagai benda yang ajeg, tanpa pemahaman tentang ketidakmungkinannya perubahan untuk dielakkan.

MDH (3)

KUANTITAS MENJADI KUALITAS

Marilah kita mulai dengan hukum transformasi dari kuantitas menjadi kualitas. Hukum ini menyatakan bahwa proses-proses perubahan – gerak di alam semesta – tidaklah perlahan (gradual), dan juga tidak setara. Periode-periode perubahan yang relatif gradual atau perubahan kecil selalu diselingi dengan periode-periode perubahan yang sangat cepat – perubahan semacam ini tidak bisa diukur dengan kuantitas, melainkan hanya bisa diukur dengan kualitas.

Sebagai contoh, kembali kita ambil dari ilmu alam, coba kita bayangkan saat kita memanaskan air. Anda hanya bisa betul-betul mengukur ("melakukan kuantifikasi") dalam hal derajat temperatur/suhu, yaitu perubahan ketika Anda menambahkan panas terhadap air itu. Katakanlah, dari 10 derajat Celcius (ini adalah temperatur normal air keran) menjadi sekitar 98 derajat Celcius, maka perubahan itu akan tetap kuantitatif, yaitu air akan tetap berupa air, walaupun menjadi lebih panas. Tetapi kemudian akan sampai suatu tahap dimana perubahan itu menjadi kualitatif, dan air pun berubah menjadi uap. Anda tidak bisa lagi menjelaskan perubahan itu hanya secara kuantitatif ketika air itu dipanaskan dari 98 derajat menjadi 102 derajat Celcius. Kita harus mengatakan bahwa suatu perubahan kualitatif (air menjadi uap) telah terjadi akibat akumulasi perubahan kuantitatif (menambahkan panas terus-menerus).

Dan inilah yang dimaksud oleh Marx dan Engels ketika mereka menyebutkan transformasi dari kuantitas menjadi kualitas. Hal yang sama dapat dilihat pada perkembangan species. Jika kita melihat ke sekeliling, kita akan mendapati tingkat varitas dari homo sapiens. Varitas itu dapat diukur secara kuantitatif, misalnya tinggi badan, berat badan, warna kulit, panjang hidung, dll. Namun jika perubahan-perubahan evolusioner bergerak maju sampai suatu tahap, dibawah pengaruh perubahan-perubahan lingkungan, maka perubahan-perubahan kuantitatif akan berakumulasi menjadi suatu perubahan kualitatif. Dengan kata lain, Anda tidak akan lagi bisa menandai perubahan pada suatu species hewan atau tumbuhan itu hanya dengan detail-detail (rincian) kuantitatif. Species tersebut akan jadi berbeda secara kualitatif. Sebagai contoh, kita, sebagai suatu species, secara kualitatif berbeda dengan simpanse atau gorila, dan mereka ini pun secara kualitatif berbeda dengan species mamalia lainnya. Dan perbedaan-perbedaan kualitatif itu, lompatan-lompatan evolusioner itu, terjadi akibat perubahan-perubahan kuantitatif di masa lalu.

Ide Marxisme ialah bahwa akan selalu terdapat periode-periode perubahan gradual yang diselingi dengan periode-periode perubahan tiba-tiba. Dalam kehamilan, misalnya, ada suatu periode perkembangan yang gradual, dan kemudian suatu periode perkembangan yang sangat mendadak di penghujung kehamilan itu. Sangat sering kaum Marxis menggunakan analogi (perbandingan) kehamilan untuk menggambarkan perkembangan perang dan revolusi. Hal tersebut menunjukkan lompatan-lompatan kualitatif dalam perkembangan sosial; tetapi perubahan itu muncul sebagai akibat akumulasi kontradiksi-kontradiksi kuantitatif dalam masyarakat.

MDH (2)

DIALEKTIKA

Dialektika secara sederhana adalah logika gerak, atau logika pemahaman umum dari para aktivis dalam gerakan. Kita semua tahu bahwa benda-benda tidaklah diam; dan benda-benda itu berubah. Akan tetapi, ada suatu bentuk logika lain yang bertentangan dengan dialektika, yang kita sebut 'logika formal', yang sekali lagi juga melekat dalam masyarakat kapitalis. Barangkali perlu untuk mulai menjelaskan secara singkat apa yang dimaksud dengan metode ini.

Logika formal didasarkan pada apa yang dikenal sebagai 'hukum identitas', yang menyatakan bahwa 'A' sama dengan 'A' – yaitu bahwa benda-benda adalah seperti itu apa adanya, dan bahwa benda itu berposisi pada hubungan yang tertentu (pasti) satu sama lain. Ada hukum-hukum turunan lain yang didasarkan pada hukum identitas; yaitu misalnya, jika 'A' sama dengan 'A', maka 'A' tidak mungkin sama dengan 'B' atau 'C'.

Secara sekilas, metode pemikiran ini nampak seperti pemahaman umum; dan pada kenyataannya, logika formal telah menjadi alat yang sangat penting, sarana yang sangat penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan revolusi industri, yang membentuk masyarakat sekarang ini. Perkembangan matematika dan aritmatika dasar, misalnya, adalah didasarkan pada logika formal. Anda tidak bisa mengajarkan tabel perkalian atau penjumlahan kepada seorang anak tanpa menggunakan logika formal. Satu ditambah satu sama dengan dua, bukan tiga. Hal yang sama, metode logika formal juga merupakan basis bagi perkembangan ilmu mekanika, kimia, biologi, dll.

Sebagai contoh, pada abad ke-18 ahli biologi Skandinavia, Linnaeus, mengembangkan sebuah sistem klasifikasi untuk semua tumbuhan dan hewan yang dikenal. Linnaeus membagi semua benda hidup ke dalam kelas-kelas, ordO-ordo, dan keluarga; misalnya dalam ordo primata, keluarga hominid, genus homo, dan mewakili species homo sapiens.

Sistem klasifikasi merupakan sebuah langkah maju besar dalam biologi. Untuk pertama kalinya, sistem ini memungkinkan dilakukannya studi mengenai tumbuhan dan hewan yang betul-betul sistematis, untuk membandingkan dan membedakan species hewan dan tumbuhan. Tetapi sistem ini didasarkan pada logika formal. Sistem ini didasarkan pada pernyataan bahwa homo sapiens sama dengan homo sapiens; bahwa musca domestica (lalat) sama dengan musca domestica; bahwa cacing tanah sama dengan cacing tanah; dst. Dengan kata lain, sistem klasifikasi ini adalah sistem yang kaku dan pasti. Menurut sistem ini, tidak mungkin suatu species sama dengan species lain. Atau, jika bisa sama, berarti sistem klasifikasi ini akan gugur.

Hal yang sama diterapkan dalam bidang kimia, dimana teori atom Dalton merupakan langkah maju yang sangat besar. Teori Dalton didasarkan pada ide bahwa materi tersusun atas atom-atom, dan bahwa masing-masing tipe atom sama sekali khusus dan khas untuk tipe itu sendiri – bahwa bentuk dan berat suatu atom adalah khusus untuk unsur tertentu itu, dan tidak sama dengan yang lain.

Setelah Dalton, juga ada sebuah sistem klasifikasi unsur-unsur yang hampir sama kaku-nya dengan sistem Dalton, yang kembali didasarkan pada logika formal yang kaku, yang mengatakan bahwa sebuah atom hidrogen adalah sebuah atom hidrogen; sebuah atom karbon adalah sebuah atom karbon; dsb. Dan jika sebuah atom bisa menjadi atom lainnya, maka keseluruhan sistem klasifikasi ini, yang telah membentuk basis bagi ilmu kimia modern, akan gugur.

Kini penting bagi kita untuk melihat bahwa terdapat keterbatasan-keterbatasan dalam metode logika formal. Logika formal adalah metode sehari-hari yang sangat bermanfaat, dan memungkinkan kita untuk mempunyai perhitungan-perhitungan dalam mengidentifikasi benda-benda. Misalnya, sistem klasifikasi Linnaean masih berguna bagi ahli-ahli biologi; tetapi, terutama sejak munculnya karya Charles Darwin, kita juga jadi bisa melihat kelemahan-kelemahan dalam sistem klasifikasi itu. Sebagai contoh, Darwin menunjukkan bahwa dalam sistem Linnaean, tipe-tipe tumbuhan diberi nama-nama tersendiri sebagai species khusus, namun sebenarnya tipe-tipe tumbuhan itu sangat mirip satu sama lain.

Jadi, bahkan di masa Darwin, sudah mungkin untuk melihat sistem klasifikasi Linnaean, dan mengatakan, 'Oh, ternyata ada yang salah'. Dan tentu saja, karya Darwin sendiri memberikan basis yang sistematis untuk teori evolusi, yang untuk pertama kalinya mengatakan adalah mungkin bagi satu species untuk berubah (bertransformasi) menjadi species lainnya. Dan ini menunjukkan adanya lobang besar dalam sistem Linnaean. Sebelum Darwin, orang menganggap bahwa jumlah species di planet ini tepat sama dengan jumlah species yang diciptakan oleh Tuhan dalam masa enam hari proses penciptaan – kecuali, tentu saja, species-species yang musnah akibat Banjir Besar – dan bahwa species-species itu tetap tidak berubah selama berjuta-juta tahun. Namun Darwin menghasilkan ide perubahan species, sehingga tidak bisa dihindari lagi, metode klasifikasi juga harus diubah.

Apa yang berlaku di bidang biologi juga berlaku di bidang kimia. Di akhir abad ke-19, para pakar kimia menjadi sadar bahwa adalah mungkin bagi satu unsur atom untuk berubah menjadi unsur lainnya. Dengan kata lain, atom tidaklah mutlak bersifat khusus dan tertentu saja pada unsurnya sendiri. Kini kita mengetahui bahwa banyak atom, banyak unsur kimia yang tidak stabil. Sebagai contoh, uranium dan atom-atom radioaktif lainnya akan pecah dalam proses perjalanan waktu, dan menghasilkan atom-atom yang sama sekali berbeda, dan dengan kandungan serta berat kimia yang berbeda pula.

Jadi, kita bisa melihat bahwa metode logika formal mulai gugur dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Akan tetapi, metode dialektika-lah yang menyebabkan bisa ditariknya kesimpulan-kesimpulan dari penemuan-penemuan faktual ini, dan menunjukkan bahwa tidak ada kategori yang mutlak atau pasti, baik di alam ataupun di masyarakat. Sementara seorang yang mengatakan logika formal mengatakan 'A' sama dengan 'A', maka seorang yang dialektis akan mengatakan bahwa 'A' belum tentu sama dengan 'A'. Atau ambillah contoh praktis yang digunakan Trotsky dalam tulisan-tulisannya tentang hal ini: satu ons gula pasir tidak akan tepat sama dengan satu ons gula pasir lainnya. Adalah hal yang baik jika Anda menggunakan patokan takaran seperti itu untuk membeli gula pasir di toko, tetapi jika Anda lihat secara teliti, akan kelihatan bahwa takaran itu tidak tepat sama.

Jadi, kita perlu memiliki suatu bentuk pemahaman, suatu bentuk logika, yang menjelaskan kenyataan bahwa benda-benda, kehidupan, dan masyarakat, berada dalam keadaan pergerakan dan perubahan yang konstan. Dan bentuk logika itu, tentu saja adalah: dialektika.

Akan tetapi, di sisi lain, adalah salah jika kita berpikir bahwa, dialektika menyatakan bahwa proses di alam semesta adalah setara (genap) dan perlahan (gradual). Hukum-hukum dialektika – dan perlu dicatat: konsep-konsep ini kedengaran lebih rumit daripada kenyataan sesungguhnya – hukum-hukum dialektika menjelaskan cara dimana proses-proses perubahan dalam realitas terjadi.

MDH (1)

Matrealisme

JIKA kita membahas metode Marxisme, maka kita sedang bergelut dengan ide-ide yang memberikan basis bagi aktivitas-aktivitas kita dalam gerakan buruh, argumen-argumen yang kita kemukakan ketika kita mengikuti berbagai diskusi, dan artikel-artikel yang kita tulis.

Telah secara umum diterima bahwa Marxisme mengambil bentuknya dari tiga akar pokok. Salah satu dari akar itu ialah analisis Marx tentang politik Prancis, khususnya revolusi borjuis di Prancis tahun 1790an, dan perjuangan-perjuangan kelas berikutnya selama awal abad ke-19. Akar lain dari Marxisme adalah apa yang disebut 'ekonomi Inggris', yaitu analisis Marx tentang sistem kapitalis seperti yang berkembang di Inggris. Akar ketiga dari Marxisme, yang menurut sejarahnya merupakan titik permulaan Marxisme, adalah 'filsafat Jerman', dan aspek filsafat inilah yang ingin saya bahas di sini.

Untuk memulainya, kita katakan bahwa basis Marxisme adalah materialisme. Maksudnya, Marxisme dimulai dengan ide bahwa materi adalah esensi dari semua realitas, dan bahwa materi membentuk akal, dan bukan sebaliknya.

Dengan kata lain, pikiran dan segala sesuatu yang dikatakan berasal dari pikiran – misalnya ide-ide tentang seni, hukum, politik, moralitas, dan sebagainya – hal-hal ini pada kenyataannya berasal dari dunia material. 'Akal', yaitu pikiran dan proses berpikir, adalah sebuah produk dari otak; dan otak itu sendiri, yang berarti juga ide-ide, muncul pada suatu tahap tertentu dari perkembangan materi hidup. Jadi, akal adalah produk dari dunia material.

Oleh karena itu, untuk memahami sifat sesungguhnya dari kesadaran dan masyarakat manusia, sebagaimana diungkapkan oleh Marx sendiri, persoalannya adalah "bukan berangkat dari apa yang dikatakan, dikhayalkan, atau dibayangkan oleh manusia… agar sampai pada yang namanya manusia dengan bentuk seperti sekarang; melainkan berangkat dari manusia riil (nyata) dan aktif, dan berdasarkan basis proses-kehidupan riil manusia yang menunjukkan perkembangan refleks-refleks dan gaungan-gaungan ideologis dari proses kehidupan ini. Bayangan-bayangan yang terbentuk dalam otak manusia adalah juga gambaran-gambaran dari proses-kehidupan material, yang secara empiris dapat dibuktikan kebenarannya dan terikat pada premis-premis(dalil) material. Jadi, moralitas, agama, metafisika, dan segala macam ideologi serta bentuk-bentuk kesadaran yang berhubungan (serupa) dengan itu, tidaklah independent (bebas). Moralitas, agama, metafisika, dan segala macam bentuk ideologi itu tidak memiliki sejarah, tidak memiliki perkembangan; tetapi manusia, yang mengembangkan produksi material dan hubungan material mereka, mengubah – seiring dengan eksistensi riil mereka – pemikiran dan produk-produk pemikiran mereka. Kehidupan tidak ditentukan oleh kesadaran, tetapi kesadaran ditentukan oleh kehidupan. Dalam metode pendekatan pertama (non materialis), titik mulanya adalah kesadaran yang dianggap sebagai individu hidup; dalam metode pendekatan kedua (materialis), yang menyesuaikan diri (terhadap keadaanmaterial) adalah individu-individu hidup riil itu sendiri, sedangkan kesadaran dianggap hanya sebagai kesadaran mereka." (Ideologi Jerman, Bab Satu).

Karena itu, seorang materialis selalu berusaha mencari penjelasan bukan hanya tentang ide-ide, melainkan juga tentang gejala-gejala material itu sendiri, dalam hal sebab-sebab material, dan bukan campur tangan supranatural oleh Tuhan, Dewa, atau yang semacam itu. Dan ini adalah aspek yang sangat penting dari Marxisme, yang secara tegas menolak metode-metode pemikiran dan logika yang telah mapan dalam masyarakat kapitalis.

Perkembangan pemikiran ilmiah di negeri-negeri Eropa pada abad ke-17 dan 18 menunjukkan ciri-ciri yang sangat kontradiktif (bertentangan), yang masih tetap khas (serupa) dengan pendekatan para teoritisi borjuis masa kini. Di satu sisi, terdapat perkembangan ke arah metode materialis.

Para

ilmuwan mencari sebab-sebab. Mereka tidak semata-mata menerima gejala-gejala alam sebagai keajaiban Tuhan, melainkan mencari penjelasan atas gejala-gejala itu. Namun seiring dengan itu, para ilmuwan ini tidak memiliki pemahaman materialis yang konsisten dan menyeluruh; dan sering kali, di balik penjelasan-penjelasan tentang gejala alam, ujung-ujungnya mereka masih mencari kaitannya dengan campur tangan Tuhan dalam proses itu.

Pendekatan seperti itu berarti menerima, atau setidaknya membuka kemungkinan, bahwa dunia material yang kita diami ini dibentuk oleh keuatan dari luar dunia, dan bahwa kesadaran atau ide-ide muncul lebih dahulu, yaitu dalam hal bahwa kesadaran atau ide-ide bisa eksis (ada) secara independent (tidak terikat) pada dunia riil. Pendekatan ini, yang merupakan lawan filosofis dari materialisme, kita sebut 'idealisme'.

Menurut pendekatan idealis ini, perkembangan umat manusia dan masyarakat – baik seni, ilmu pengetahuan, dll. – ditentukan bukan oleh proses material, melainkan oleh perkembangan ide-ide, oleh penyempurnaan atau turun-temurunnya pemikiran manusia. Dan bukanlah kebetulan belaka bahwa pendekatan umum ini, dinyatakan atau tidak, ternyata menyelubungi semua filsafat kapitalisme.

Para

filsuf dan sejarawan borjuis secara umum menerima sistem yang ada sekarang secara apa adanya. Mereka menerima bahwa kapitalisme adalah suatu sistem yang telah lengkap dan tuntas, yang tidak bisa digantikandengan sebuah sistem yang baru dan lebih maju. Dan mereka berusaha untuk menjelaskan semua sejarah masa lalu sebagai usaha dari umat manusia yang belum maju untuk mencapai semacam 'masyarakat yang sempurna', yang mereka yakin bahwa kapitalisme telah mencapainya atau bisa mencapainya.

Jadi, jika mempelajari karya dari beberapa ilmuwan atau pemikir besar borjuis di masa lalu atau bahkan sekarang, kita dapat melihat betapa mereka cenderung untuk mencampur-adukkan ide-ide materialis dan ide-ide idealis dalam pikiran mereka. Isaac Newton misalnya, yang telah meneliti hukum-hukum mekanik, gerakan planet, dan benda-benda planet, tidak percaya bahwa proses-proses ini ditentukan oleh akal atau pikiran. Namun apa yang dia percaya ialah bahwa tenaga penggerak awal diberikan kepada semua materi, dan bahwa dorongan awal ini ditentukan oleh semacam kekuatan supranatural, yaitu oleh Tuhan.

Hal yang serupa, adalah mungkin bagi banyak ahli biologi saat ini untuk menerima ide bahwa species tumbuhan dan hewan berevolusi dari satu jenis menjadi jenis lainnya, dan bahwa manusia sendiri adalah hasil perkembangan dari species terdahulu. Namun demikian, banyak di antara mereka yang terpaku pada gagasan bahwa terdapat suatu perbedaan kualitatif antara akal manusia dengan akal hewan, yaitu bahwa ada 'jiwa yang abadi' yang meninggalkan tubuh manusia setelah kematiannya. Bahkan beberapa di antara ilmuwan yang paling termahsyur juga mencampuradukkan metode materialis dengan ide-ide idealis seperti ini, yang – kalau kita bicara secara ilmiah – ini sungguh-sungguh terbelakang, serta lebih dekat kepada magic dan takhayul daripada kepada ilmu pengetahuan.

Karena itu, Marxisme mewakili pertentangan yang sistematis dan fundamental dengan idealisme dalam segala bentuknya, dan perkembangan Marxisme mencerminkan suatu pemahaman materialis tentang apa yang tengah terjadi dalam realitas (kenyataan).

Minggu, 15 Juni 2008

PETA PEMIKIRAN HEGEL (4)

Negara

Negara merupakan tema sentral dalam pembahasan tentang kehidupan dalam masyarakat politik. Sebagai seorang filosof, Hegel kemudian merumuskan bentuk negara ideal baginya, pandangannya tentang negara tersebut dapat dilihat pada dua karyanya yaitu The Philosopy of History dan The Philosopy of Law. Tentu saja pandangannya tentang negara tidak lepas dari sistem filsafat yang dibangunnya.

Hegel menunjukkan bahwa hakekat manusia dimasukkan dan diwujudkan dalam kehidupan negara-bangsa. Menurutnya, negara-bangsa merupakan totalitas organik (kesatuan organik) yang mencakup pemerintahan dan institusi lain yang ada dalam negara termasuk keseluruhan budayanya. Hegel juga menyatakan bahwa totalitas dari budaya bangsa dan pemerintahannya merupakan individu sejati. “Individu sejarah dunia adalah negara-bangsa”, maksudnya negara merupakan individu dalam sejarah dunia.

Negara merupakan manifestasi dari ide universal. Sedangkan individu (orang per orang) merupakan penjelmaan dari ide partikular yang tidak utuh, dan merupakan bentuk kepentingan yang sempit. Negara memperjuangkan kepentingan yang lebih besar, memperjuangkan/merealisasikan ide besar. keinginan negara merupakan keinginan umum untuk kebaikan semua orang, karenanya negara harus dipatuhi dan negara dapat memaksakan keinginannya pada warganya. Negara adalah “penjelmaan dari kemerdekaan rasional, yang menyatakan dirinya dalam bentuk objektif”.

Karena itulah negara yang dibentuk Hegel adalah absolut. Negara baginya bukan apa yang di gambarkan John Lock atau teoritisi-teoritisi kontrak sosial yang dibentuk dari kesepakatan bersama dari rakyatnya, Hegal berpendapat sebaliknya ,negaralah yang membentuk rakyatnya. Hegel memang mensakralkan negara sampai ia menganggap bahwa sepak terjang negara di dunia ini sebagai “derap langkah Tuhan di bumi” The State is devine idea as it exists on earth. (Ahad Suhelmi: 256-259)

Dalam perspektif ini individu tidaklah dimungkinkan untuk menjadi oposisi negara sebab ia membawa kepentingan parsial. Negara adalah sumber budaya, kehidupan institusional dan moralitas. Hegel menyatakan dalam Reason of History: segala yang ada pada manusia, dia menyewa pada negara, hanya dalam negara dia mendapatkan jati dirinya. Maka tidak seorang pun bisa melangkah di belakang negara, dia mungkin bisa memisahkan diri dari individu lain namun tidak dari jiwa manusia.

Lalu dimanakah existensi individu ketika ia tidak lagi memiliki kekuasaan dan kebebasan? Hegel menjawabnya dengan membedakan kebebasan formal dan kebebasan substansial. Berikut ini penjelasanya

1. Kebebasan formal merupakan kebebasan yang diasumsikan oleh kaum atomis di masa pencerahan, dimana individu terisolasi, kebebasan ini diraih dari sifat alamiah seperti: kehidupan, kebebasan dan properti (hak milik), kebebasan ini bersifat abstrak dan negatif. Bagi Hegel, inilah kebebasan dari penguasa yang menindas.

2. Kebebasan substansial adalah merupakan kebebasan ideal bagi Hegel, hal ini cita-cita moral masyarakat yang berasal dari kehidupan spiritual masyarakat tertentu. Kebebasan ini hanya dapat diraih dari negara, di sinilah cita-cita etika dan jiwa fundamental orang-orang dalam hukum-hukum dan institusi-institusinya dapat dicapai.

Dalam pandangan Hegel, jika kita membenci budaya kita dan tidak sependapat dengan cita cita dan institusi masyarakat kita maka kita berada dalam keterasingan. Keterasingan merupakan terdiri dari banyak komponen yaitu: perasaan menjadi asing diri, terputus dari perasaan sendiri ataupun identitasnya sendiri; perasaan tidak memiliki norma; tidak memiliki arti; lemah dan lain lain.Keterasingan yang dipahami Hegel merupakan kegagalan kehendak individu untuk beradaptasi dengan yang lebih besar yaitu kemauan masyarakat. Keterasingan merupakan kondisi dimana seseorang tidak bisa mengidentifikasikan diri dengan moralitas publik dan institusi masyarakat

PETA PEMIKIRAN HEGEL (3)

FILSAFAT SEJARAH

Setelah Hegel menyatakan bahwa yang sejati adalah rasional dan kemudian menerangkan tentang dialektika yang membawa ruh kepada titik absolut, maka kita kemudian akan di bawa pada pemahaman hakekat sejarah. Sejarah bagi Hegel dapat dipahami sebagai proses dialektika ruh. Filsafat sejarah Hegel merupakan perwujudan atau pengejewantahan dari ide universal menuju pada absolutisme dengan menjelaskan semua yang terjadi sebagai proses.

Bagi Hegel, sejarah berlaku pada kelompok bukan dalam individu. Searah berkaitan dengan jiwa manusia dan seluruh budayanya bukan dengan Ilmu dan tekhnologi seperti yang di jelaskan oleh para pemikir pencerahan. Hegel mengangap sejarah tidakah bergerak secara lurus terhadap kemajuan, namun ia bergerak secara dialektis melalui jalan melingkar.

Dalam The Philosophy of History Hegel mengatakan bahwa Esensi dari ruh adalah kebebasan , maka kebebasan adalah tujuan dari sejarah. Sejarah baginya merupakan gerak kearah rasionalitas dan kebebasan yang semakin besar. Hegel kemudian merumuskan perkembangan historis ruh, yang terbagi dalam tiga tahap : Pertama, Timur. Kedua, Yunani dan Romawi dan Ketiga, Jerman. Pada fase pertama kita akan temui bahwa yang bebas hanyalah satu orang, seperti yang kita lihat dalam monarki Cina dan Timur Tengah , lalu sejarah bergerak pada masa Yunani Kuno dan Romawi dimana yang bebas menjadi beberapa orang sebab masih ada pembedaan antara tuan dan budak maka bentuk yang sempurna adalah Jerman dimana yang bebas adalah semuanya Pemikiran Hegel mengarahkan kita pada pemahaman bahwa sejarah merupakan pergerakan penuh tujuan atas cita-cita Tuhan untuk kemanusiaan. Hegel pun memahami bahwa sejarah memang merupakan meja pembantaian dimana kesengsaraan, kematian , ketidakadilan dan kejahatan menjadi bagian dari panggung dunia. Namun Filsafat sejarah merupakan teodisi atau usaha untuk membenarkan tuhan dan mensucikan tuhan data tuduhan bahwa tuhan membiarkan kejahatan berkuasa di dunia. Dia menunjukkan anggapan yang salah tentang sejarah di sebabkan karena merekan hanya melihat permukaanya saja, tetapi mereka tidak melihat aspek Laten serta potensial dalam sejarah yaitu jiwa absolut dan esensi jiwa yaitu kebebasan .


PETA PEMIKIRAN HEGEL (2)

DIALEKTIKA

Dialektika merupakan metode yang dipakai Hegel dalam memahami realitas sebagai perjalanan ide menuju pada kesempurnaan. Menelusuri meteri baginya adalah kesia-siaan sebab materi hanyalan manifestasi dari perjalanan ide tersebut. Dengan dialektika, memahami ide sebagai realitas menjadi dimungkinkan.

Dialektika dapat dipahami sebagai “The Theory of the

Union

of opposites” (teori tentang persatuan hal-hal yang bertentangan). Terdapat tiga unsur atau konsep dalam memahami dialektika yaitu pertama, tesis, kedua sebagai lawan dari yang pertama disebut dengan antitesis. Dari pertarungan dua unsur ini lalu muncul unsur ketiga yang memperdamaikan keduanya yang disebut dengan sinthesis. Dengan demikian, dialektika dapat juga disebutsebagai proses berfikir secara totalitas yaitu setiap unsur saling bernegasi (mengingkari dan diingkari), saling berkontradiksi (melawan dan dilawan), serta saling bermediasi (memperantarai dan diperantarai).

Untuk memahami proses triadic itu (thesis, Antitesis, dan sithesis), Hegel menggunakan kata dalam bahsa Jerman yaitu aufheben Kata ini memiliki makna “menyangkal”, “menyimpan” dan “mengangkat”. Jadi dialektika bagi Hegel bukanlah penyelesaian kontradiksi dengan meniadakan salah satunya tetapi lebihdari itu. Proposi atau tesis dan lawannya antitesis memiliki kebenaran masing-masing yang kemudian diangkat menjadi kebenaran yang lebih tinggi. Tj. Lavine menerangkan proses ini sebagai berikut:

1. menunda klonflik antara tesis dan antitesis.

2. Menyimpan elemen kebenaran dari tesis dan antitesis.

3. Memgungguli perlawanan dan meninggikan konflik hingga mencapai kebenaran yang lebih tinggi.

Hagel memberikan contoh sebagai berikut “yang mutlak adalah yang berada murni (pure being)” yang tidak memiliki kualitas apapun. Namun yang berada murni tanpa kualitas apapun adalah “yang tiada (nothing)” ini merupakan regasi dari proposi atau tesis, oleh sebab itu kita terarah pada antitesis “yang mutlak adalah yang tiada”. Penyatuan antara tesis dan antitsis tersebut menjadi sinthesis yaitu apa yang disebut menjadi (becoming) maka “yang mutlak adalah yang menjadi”, sinthesis inilah kebenaran yang lebih tinggi.

Dialektika Hegel merupakan alternatif tradisional yang mengasumsikan bahwa proposi haruslah terdiri dari subjek dan predikat. Logika seperti ini bagi Hegel tidaklah memadai. Berikut contoh yang bisa sedikit menerangkan tentang hal tersebut, dalam logika tradisional terdapat proposi sebagai berikut Heru adalah seorang paman”, kata paman disini merupakan predikat yang dinyatakan begitu saja benar (benar dengan sendirinya), Heru tidak perlu mengetahui keberadaannya sebagai paman, maka dalam hal ini logika tradisional mengandung cacat. Hegel menggantinya dengan dialektika untuk menuju pada kebenaran mutlak, paman bagi Hegel tidaklah benar dengan sendirinya, sebab eksistensinya sebagai paman juga membutuhkan eksistensi orang lain sebagai keponakan. Dari perseteruan antara paman sebagai tesis dan keponakan sebagai antitsis maka tidaklah memungkinkan kebenaran parsial atau individual, kesimpulannya adalah kebenaran terdiri dari paman dan keponakan. Jika dialektika ini diteruskan akan mencap[ai kebenaran absolut yang mencakup keseluruhan.

Tidak ada kebenaran absolut tanpa melalui keseluruhan dialektika. Setiap tahap yang belakangan mengandung semua tahap terdahulu. Sebagaimana larutan, tak satupun darinya yang secara keseluruhan digantikan, tetapi diberi tempat sebagai suatu unsur pokok di dalam keseluruhan.

PETA PEMIKIRAN HEGEL (1)

METAFISIKA DAN RUH ABSOLUT

Filsafat Hegel sering disebut sebagai puncak idealisme Jerman. Filsafatnya banyak diinspirasikan oleh Imanuel Kant dengan filsafat ilmunya ( filsafat dualisme), Kant melakukan pengkajian terhadap kebuntuan perseteruan antara Empirisme dan Rasionalisme, keduanya bagi Kant terlalu ekstrem dalam mengklaim sumber pengetahuan. “Revolusi Kantian” kemudian berhasil menemukan jalan keluarnya.

Hegel yang pada awalnya sangat terpengaruh oleh filsafat Kant tersebut kemudian menemukan jalan keluarnya melalui kontemplasi yang terus menerus. Ketertarikan Hegel sejak awal pada metafisika, meyakinkannya bahwa ada ketidak jelasan bagian dunia, bagi Bertrand Russell pemikirannya kemudian merupakan Intelektualisasi dari wawasan metafisika

Pada dasarnya filsafat Hegel mematahkan anggapan kaum empiris seperti John Lock, Barkeley dan David Hame. Mereka ( kaum empiris ) mengambil sikap tegas pada metafisika, bagi Lock metafisika tidak mampu menjelaskan basis fundamental filsafat atau Epistimologi ( bagaimana realitas itu dapat diketahui ) dan tidak dapat mencapai realitas total, pendapat ini diteruskan kembali oleh David Hume bahwa metafisika tidaklah berharga sebagai ilmu dan bahkan tidak mempunyai arti., baginya metafisika hanya merupakan ilusi yang ada diluar batas pengertian manusia.

Dengan metafisika kemudian Hegel mencoba membangun suatu sistem pemikiran yang mencakup segalanya baik Ilmu Pengetahuan, Budaya, Agama, Konsep Kenegaraan, Etika, Sastra, dll. Hegel meletakkan ide atau ruh atau jiwa sebagai realitas utama, dengan ini ia akan menyibak kebenaran absolut dengan menembus batasan-batasan individual atau parsial. Kemandirian benda-benda yang terbatas bagi Hegel dipandang sebagai ilusi, tidak ada yang benar nyata kecuali keseluruhan (The Whole).

Hegel memandang Realitas bukanlah suatu yang sederhana, melainkan suatu sistem yang rumit. Ia membangun filsafat melalui metafora pertumbuhan biologis dan perubahan perkembangan atau bisa disebut dengan organisme. Pengaruh konsep organisme pada diri Hegel, membuatnya memandang bahwa organisme merupakan model untuk memahami kepribadian manusia, masyarakat, institusi, filsafat dan sejarah. Dalam hal ini organisme dipandang sebagai suatu hirarki, kesatuan yang saling membutuhkan dan masing-masing bagian memiliki peran dalam mempertahankan suatu keseluruhan.

Segala sesuatu yang nyata adalah rasional dan segala sesuatu yang rasional adalah nyata (all that is real is rational and all that is rational is real) adalah merupakan dalil yang menegaskan bahwa luasnya ide sama dengannya luasnya realitas. Dalil ini berbeda dengan yang dinyatakan oleh keum empiris tentang realitas, “yang nyata” bagi kaum empiris secara tegas ditolak oleh Hegel, sebab baginya itu tidaklah rasional, hal tersebut terlihat rasional karena merupakan bagian dari aspek keseluruhan.

Hegel meneruskan bahwa keseluruhan itu bersifat mutlak dan yang mutlak itu bersifat spiritual yang lambat laun menjadi sadar akan dirinya sendiri. Jadi realitas pada kesendiriannya bukanlah hal yang benar-benar nyata, tetapi yang nyata pada dirinya adalah partisipasinya pada keseluruhan.

Dalam bukunya Phenomenologi of Mind (1807), Hegel menggambarkan tentang “yang mutlak” sebagai bentuk yang paling sempurna dari ide yang selanjutnya menjadi ide absolut. Ide absolut menurut Bertrand Russell adalah pemikiran murni, artinya adalah bahwa ide absolut merupakan kesempurnaan fikiran atau jiwa yang hanya dapat memikirkan dirinya sendiri. Pikirannya dipantulkan kedalam dirinya sendiri melalui kesadaran diri.